4 Penyebab Perang Diponegoro Dan Tokohnya, Wajib Tahu!

4 Penyebab Perang Diponegoro dan Tokohnya, Wajib Tahu!, Kuisatu.com

Perang Diponegoro adalah salah satu perang perlawanan terhadap penjajahan Belanda terbesar yang pernah dilakukan oleh kaum pribumi. Ada berbagai penyebab perang Diponegoro yang mengakibatkan perang ini berlangsung selama 5 tahun dari 1825 sampai tahun 1830.

Perang Diponegoro yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro ini mengakibatkan kas penjajah Belanda terkuras habis. Hal ini karena strategi perang gerilya yang diusung oleh Pangeran Diponegoro dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain membuat pasukan Belanda kesulitan melacak keberadaannya.

Penyebab Perang Diponegoro dari Sisi Internal

1. Faktor Agama atau Spiritual

Faktor agama atau spiritual bisa dibilang merupakan salah satu faktor terbesar dan terkuat terjadinya perang Diponegoro selama 5 tahun berturut-turut. Sayangnya, faktor agama atau spiritual masih kurang dibahas di buku-buku sejarah padahal faktor inilah yang menggerakkan Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro tidak sekedar dibesarkan sebagai seorang bangsawan berdarah biru namun beliau juga merupakan seseorang yang taat beragama. Ikatan Pangeran Diponegoro yang kuat terhadap agamanya inilah yang membuat darah beliau mendidih tatkala melihat penjajah Belanda menodai Islam.

Jihad fi sabilillah adalah dasar filosofis meletusnya gerakan perang Diponegoro. Terkait dengan alasan filosofis Pangeran Diponegoro menggerakkan pasukannya untuk berperang karena dasar agama bisa dilihat di dalam kitab karya Louw yakni De Java Oorlog Van 1825-1830.

Di dalam kitab tersebut termaktub kalimat Pangeran Diponegoro yang mengatakan bahwa tujuan utama dari pemberontakan tersebut tetap, yakni membebaskan Yogyakarta dari kaum kolonial Barat dan agar agama dibersihkan dari noda yang muncul akibat pengaruh buruk orang-orang Barat.

Pangeran Diponegoro sendiri mengungkapkan alasan spiritual atau agama ini melalui lisannya ke pihak Belanda saat pihak penjajah melakukan pengkhianatan terhadap perjanjian damai. Hal ini membuat perang yang digerakkan oleh Pangeran Diponegoro ini banyak didukung oleh kalangan agama.

Kalangan haji, guru ngaji, kyai, santri, syeikh turut membantu perang Diponegoro dengan menggerakkan santri-santrinya. Bahkan tercatat tidak kurang 108 kyai ikut serta dalam perang Diponegoro sebagaimana yang dicatat oleh Peter Carey.

2. Penjajah Belanda Ikut Campur dalam Politik Keraton

Faktor internal perang Diponegoro lainnya adalah karena penjajah Belanda ikut campur di dalam perpolitikan keraton. Hal ini terjadi semenjak pemimpin keraton saat itu yakni Sultan Hamengkubuwana I yang sangat anti kolonial, wafat.

Wafatnya sultan meninggalkan keraton Yogyakarta dalam kondisi rapuh karena terus-menerus dirongrong baik dari dalam dan luar oleh pihak kolonial Belanda. Pangeran Diponegoro melihat bahwa banyak pihak keraton yang justru memihak kepada kepentingan Belanda dibandingkan kebaikan rakyat keraton.

Semenjak bertahtanya Sultan Hamengkubuwono II, kekuasaan Belanda pun semakin menjadi-jadi dengan memaksa sultan turun takhta untuk kemudian digantikan oleh Sultan Hamengkubuwana III yakni Raden Mas Suraja.

Raden Mas Suraja adalah ayah dari Pangeran Diponegoro. Namun, Pangeran Diponegoro bukanlah anak dari permaisuri meskipun merupakan anak laki-laki tertua. Ini membuat Pangeran Diponegoro menolak permintaan sang ayah untuk menjadikannya sebagai penerus tahta.

Kondisi keraton pun menjadi kacau ketika Sultan Hamengkubuwono IV naik tahta karena beliau saat itu masih berusia 10 tahun. Sultan Hamengkubuwono IV yang bernama Raden Mas Ibnu Jarot saat itu sangat mudah disetir oleh punggawa istana yang setia kepada pihak penjajah Belanda.

Penyebab Perang Diponegoro dari Sisi Eksternal

1. Kesempatan Menarik Pajak Diberikan Kepada Orang Tionghoa

Salah satu penyebab perang Diponegoro dari sisi eksternal adalah karena adanya pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak kaum pribumi. Pada masa itu, kaum penjajah Belanda memberikan orang Tionghoa posisi strategis sebagai penjaga gerbang kota.

Posisi strategis sebagai penjaga gerbang kota membuat orang Tionghoa memiliki kesempatan untuk menyita hasil kebun milik pribumi. Gerbang kota memang merupakan tempat yang biasa digunakan untuk memeras rakyat pribumi.

2. Kerja Paksa dari Pihak Penjajah Belanda

Pihak penjajah Belanda saat itu benar-benar menancapkan kekuasaannya di tengah-tengah rakyat Yogyakarta apalagi dengan beberapa pihak keraton yang bekerjasama dengan penjajah. Prakek kerja paksa untuk kepentingan Belanda ini semakin membuat Pangeran Diponegoro marah dan muak.

Praktek kerja paksa berupa tanam paksa dan rodi ini sangat merugikan masyarakat apalagi masyarakat tidak diberikan hak-haknya dengan layak. Pangeran Diponegoro juga menyadari bahwa semua kerja paksa ini hanya menguntungkan pihak Belanda dan bukan untuk kepentingan keraton.

3. Pembangunan Jalan Menerobos Makam Keluarga Pangeran Diponegoro

Penyebab eksternal perang Diponegoro disebabkan karena adanya pembangunan jalan oleh pihak penjajah kolonial Belanda. Pihak penjajah membangun jalan secara membabi buta tanpa mempertimbangkan lokasi makam keluarga dari Pangeran Diponegoro.

Pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang yang dilakukan oleh Residen Yogyakarta yakni Hendrik Smissaert ini memasang patok-patok pembangunan jalan yang patok tersebut melewati makam keluarga Pangeran Diponegoro dan tanpa meminta izin darinya terlebih dulu.

Hal ini dilakukan Belanda untuk memancing kemarahan Pangeran Diponegoro. Hal ini membuat Pangeran Diponegoro memerintahkan pasukannya mengganti patok tersebut dengan tombak. Tombak sebagai penanda pernyataan perang terhadap Kolonial Belanda dan Keraton Yogyakarta.

4. Praktek Sewa Kebun

Praktek persewaan kebun ini marak dilakukan pada masa Kesultanan Yogyakarta. Saat itu pihak keraton yang disetir penjajah menyewakan lahan ke pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini membuat marah Pangeran Diponegoro karena sejatinya praktik ini hanya menguntungkan penjajah dan punggawa keraton.

Praktek ini akhirnya membuat keraton menjadi bangkrut.

Penyebab perang Diponegoro pecah sejak Sultan Hamengkubuwana I meninggal dunia pada tanggal 24 Maret 1792. Sepeninggal Sultan Hamengkubuwana I benar-benar menjadi bencana besar bagi keraton Yogyakarta karena telah membuka jalan mulus bagi keberadaan penjajah Belanda di lingkungan keraton.

Suka dengan informasi sejarah lainnya? Simak tentang perjanjian internasional yuk!